Tentang Desa

Desa Bedagung
Desa Bedagung merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Paninggaran. Sejarah penamaan "Bedagung" memiliki keterkaitan erat dengan kisah lama yang berlatar pada zaman kewalian. Nama "Bedagung" diyakini berasal dari ungkapan : “Bedhahing Kuto Papat Poda Agunge”, yang berarti lahirnya sebuah kota oleh empat tokoh yang sama agungnya. Keempat tokoh yang dimaksud adalah Kyai Margajati, Kyai Bangunnadi, Kyai Taman Sari, Kyai Mertapraya. Mereka adalah empat bersaudara.Desa Bedagung merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Paninggaran. Sejarah penamaan "Bedagung" memiliki keterkaitan erat dengan kisah lama yang berlatar pada zaman kewalian. Nama "Bedagung" diyakini berasal dari ungkapan : “Bedhahing Kuto Papat Poda Agunge”, yang berarti lahirnya sebuah kota oleh empat tokoh yang sama agungnya. Keempat tokoh yang dimaksud adalah Kyai Margajati, Kyai Bangunnadi, Kyai Taman Sari, Kyai Mertapraya. Mereka adalah empat bersaudara.
Diceritakan bahwa pada masa peperangan, keempat tokoh tersebut memiliki gaman atau pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. Pusaka itu awalnya dimiliki oleh Kyai Tamansari, sebagai anak tertua, lalu diwariskan kepada adiknya, Kyai Margajati, kemudian kepada Kyai Bangunadi, dan terakhir kepada Kyai Mertapraya.Diceritakan bahwa pada masa peperangan, keempat tokoh tersebut memiliki gaman atau pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. Pusaka itu awalnya dimiliki oleh Kyai Tamansari, sebagai anak tertua, lalu diwariskan kepada adiknya, Kyai Margajati, kemudian kepada Kyai Bangunadi, dan terakhir kepada Kyai Mertapraya.
tangkai pohon aren), dan kopoh (kain lap). Dangu aren digunakan sebagai bekal dalam perjalanan; jika merasa haus, tangkai tersebut dapat dipotong dan air di dalamnya diminum. Konon, air dari dangu aren itu tidak pernah habis. Sementara itu, kopoh digunakan untuk mengusap darah ketika terjadi luka dalam pertempuran atau perjalanantangkai pohon aren), dan kopoh (kain lap). Dangu aren digunakan sebagai bekal dalam perjalanan; jika merasa haus, tangkai tersebut dapat dipotong dan air di dalamnya diminum. Konon, air dari dangu aren itu tidak pernah habis. Sementara itu, kopoh digunakan untuk mengusap darah ketika terjadi luka dalam pertempuran atau perjalanan
Pusaka yang dibawa oleh para tokoh tersebut terdiri atas parang, dangu (tangkai pohon aren), dan kopoh (kain lap). Dangu aren digunakan sebagai bekal dalam perjalanan; jika merasa haus, tangkai tersebut dapat dipotong dan air di dalamnya diminum. Konon, air dari dangu aren itu tidak pernah habis. Sementara itu, kopoh digunakan untuk mengusap darah ketika terjadi luka dalam pertempuran atau perjalanan.Pusaka yang dibawa oleh para tokoh tersebut terdiri atas parang, dangu (tangkai pohon aren), dan kopoh (kain lap). Dangu aren digunakan sebagai bekal dalam perjalanan; jika merasa haus, tangkai tersebut dapat dipotong dan air di dalamnya diminum. Konon, air dari dangu aren itu tidak pernah habis. Sementara itu, kopoh digunakan untuk mengusap darah ketika terjadi luka dalam pertempuran atau perjalanan.
Keempat tokoh tersebut pernah merencanakan untuk membangun sebuah masjid sebagai pusat permukiman di wilayah ini. Namun, rencana itu tidak sempat terwujud. Meskipun demikian, jejak perjuangan mereka dapat dikenali melalui penamaan beberapa tempat di sekitar Desa Bedagung. Menurut cerita dari salah satu sesepuh Desa Bedagung, Pak Palil, perjuangan para tokoh dalam membangun masjid dimulai dari menyiapkan beras untuk membuat “buchu”, yaitu hidangan yang disajikan dalam selamatan. Sawah Sulada merupakan tempat yang dahulu digunakan untuk proses napeni, yaitu memisahkan gabah dari merang dan kotoran ringan yang berbentuk seperti debu. Dalam proses tersebut, merang dan debu debu halus terbang terbawa angin. Konon, merang dari Sawah Sulada terbawa angin hingga ke sebuah perbukitan yang kini dikenal sebagai Gunung Blubuk. Nama "Blubuk" sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jawa yang berarti "berdebu". Watu Payung menjadi salah satu titik persinggahan dalam perjalanan para tokoh. Tempat ini terletak di tepi aliran sungai dan dikenal karena adanya sebuah batu yang konon digunakan untuk meletakkan payung. Setelah beristirahat sejenak di sana, para tokoh melanjutkan perjalanan dengan mendaki perbukitan di sekitar wilayah tersebut. Di tengah perjalanan mendaki, mereka bertemu dengan seorang begal yang dikenal dengan nama Ki Bawu, Pertemuan itu memicu perkelahian sengit antara para tokoh dan sang begal. Dalam peristiwa tersebut, begal akhirnya berhasil dikalahkan. Jenazahnya kemudian diletakkan di atas daun pandan, dan sejak saat itu, tempat tersebut dikenal dengan nama Igir PandanKeempat tokoh tersebut pernah merencanakan untuk membangun sebuah masjid sebagai pusat permukiman di wilayah ini. Namun, rencana itu tidak sempat terwujud. Meskipun demikian, jejak perjuangan mereka dapat dikenali melalui penamaan beberapa tempat di sekitar Desa Bedagung. Menurut cerita dari salah satu sesepuh Desa Bedagung, Pak Palil, perjuangan para tokoh dalam membangun masjid dimulai dari menyiapkan beras untuk membuat “buchu”, yaitu hidangan yang disajikan dalam selamatan. Sawah Sulada merupakan tempat yang dahulu digunakan untuk proses napeni, yaitu memisahkan gabah dari merang dan kotoran ringan yang berbentuk seperti debu. Dalam proses tersebut, merang dan debu debu halus terbang terbawa angin. Konon, merang dari Sawah Sulada terbawa angin hingga ke sebuah perbukitan yang kini dikenal sebagai Gunung Blubuk. Nama "Blubuk" sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jawa yang berarti "berdebu". Watu Payung menjadi salah satu titik persinggahan dalam perjalanan para tokoh. Tempat ini terletak di tepi aliran sungai dan dikenal karena adanya sebuah batu yang konon digunakan untuk meletakkan payung. Setelah beristirahat sejenak di sana, para tokoh melanjutkan perjalanan dengan mendaki perbukitan di sekitar wilayah tersebut. Di tengah perjalanan mendaki, mereka bertemu dengan seorang begal yang dikenal dengan nama Ki Bawu, Pertemuan itu memicu perkelahian sengit antara para tokoh dan sang begal. Dalam peristiwa tersebut, begal akhirnya berhasil dikalahkan. Jenazahnya kemudian diletakkan di atas daun pandan, dan sejak saat itu, tempat tersebut dikenal dengan nama Igir Pandan.
Dari tempat sebelumnya, para tokoh melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Gunung Sari, yang terletak di atas Dukuh Sitatah, wilayahDari tempat sebelumnya, para tokoh melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Gunung Sari, yang terletak di atas Dukuh Sitatah, wilayah utama untuk membuat buchu, yakni hidangan berupa nasi kuning yang digunakan dalam tradisi slametan. Buchu menjadi simbol rasa syukur serta permohonan keselamatan dalam berbagai hajat penting. Tradisi membuat buchu masih lestari hingga saat ini di kalangan masyarakat sekitar. Umumnya, buchu disajikan dalam acara seperti pembangunan rumah, atau syukuran lainnya. Setelah dari Gunung Sari, para tokoh melanjutkan perjalanan dengan menuruni perbukitan hingga tiba di sebuah aliran sungai, yakni anak sungai Kali Paingan. Di tempat ini kembali terjadi perkelahian. Meskipun tidak diketahui secara pasti dengan siapa para tokoh tersebut bertarung, peristiwa itu memakan banyak korban jiwa. Jenazah mereka kemudian dimasukkan ke dalam sebuah jurang yang sangat dalam. Lokasi tersebut kini dikenal sebagai Kalen Jurang Jero, yang berarti sungai dengan jurang yang sangat dalam. Di sekitar aliran Kali Paingan tersebut, masih terdapat kayu-kayu yang konon telah dipersiapkan oleh para tokoh untuk pembangunan masjid. Kayu-kayu itu diletakkan di tepi sungai dan menjadi bagian dari ingatan kolektif masyarakat. Cerita ini dituturkan secara turun-temurun oleh para sesepuh desa, dan diyakini bahwa keempat kyai tersebut telah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mendirikan sebuah masjid sebagai pusat ibadah dan kehidupan masyarakat di masa ituutama untuk membuat buchu, yakni hidangan berupa nasi kuning yang digunakan dalam tradisi slametan. Buchu menjadi simbol rasa syukur serta permohonan keselamatan dalam berbagai hajat penting. Tradisi membuat buchu masih lestari hingga saat ini di kalangan masyarakat sekitar. Umumnya, buchu disajikan dalam acara seperti pembangunan rumah, atau syukuran lainnya. Setelah dari Gunung Sari, para tokoh melanjutkan perjalanan dengan menuruni perbukitan hingga tiba di sebuah aliran sungai, yakni anak sungai Kali Paingan. Di tempat ini kembali terjadi perkelahian. Meskipun tidak diketahui secara pasti dengan siapa para tokoh tersebut bertarung, peristiwa itu memakan banyak korban jiwa. Jenazah mereka kemudian dimasukkan ke dalam sebuah jurang yang sangat dalam. Lokasi tersebut kini dikenal sebagai Kalen Jurang Jero, yang berarti sungai dengan jurang yang sangat dalam. Di sekitar aliran Kali Paingan tersebut, masih terdapat kayu-kayu yang konon telah dipersiapkan oleh para tokoh untuk pembangunan masjid. Kayu-kayu itu diletakkan di tepi sungai dan menjadi bagian dari ingatan kolektif masyarakat. Cerita ini dituturkan secara turun-temurun oleh para sesepuh desa, dan diyakini bahwa keempat kyai tersebut telah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mendirikan sebuah masjid sebagai pusat ibadah dan kehidupan masyarakat di masa itu.
Keempat kyai tersebut diyakini sebagai leluhur masyarakat desa. Namun, asal-usul mereka tidak dapat dipastikan secara pasti, termasuk apakah mereka benar-benar bersaudara atau tidak. Hal ini disebabkan karena informasi yang ada hanya bersumber dari cerita-cerita lisan yang diturunkan secara turun-temurun oleh para pendahulu. Perkampungan pertama di Desa Bedagung diyakini terletak di wilayah Dukuh Sijaha. Di kawasan tersebut terdapat dua aliran air atau kalen, yaitu Kalen Bedahan dan Kalen Kutabangsa. Keberadaan kedua kalen ini menjadi salah satu bukti pendukung terhadap asal-usul nama Desa Bedagung, yang dipercaya berasal dari ungkapan “Bedhahing Kutha Papat Padha Agunge”. Selain itu, di wilayah Dukuh Sijaha juga terdapat hamparan sawah yang dikenal dengan sebutan Sawah Desa. Nama tersebut dimaknai sebagai sawah bekas perkampungan atau desa, dan diyakini sebagai titik awal berdirinya permukiman pertama di Desa Bedagung. Tempat tersebut merupakan tempat tinggal salah satu tokoh berpengaruh yang menjadi panutan bagi keempat kyai yang telah diceritakan sebelumnya, yaitu Raden Mbah Dai Jaimin. Namun demikian, hingga kini tidak ditemukan petilasan atau peninggalan fisik yang menunjukkan keberadaan beliau di lokasi tersebut.Keempat kyai tersebut diyakini sebagai leluhur masyarakat desa. Namun, asal-usul mereka tidak dapat dipastikan secara pasti, termasuk apakah mereka benar-benar bersaudara atau tidak. Hal ini disebabkan karena informasi yang ada hanya bersumber dari cerita-cerita lisan yang diturunkan secara turun-temurun oleh para pendahulu. Perkampungan pertama di Desa Bedagung diyakini terletak di wilayah Dukuh Sijaha. Di kawasan tersebut terdapat dua aliran air atau kalen, yaitu Kalen Bedahan dan Kalen Kutabangsa. Keberadaan kedua kalen ini menjadi salah satu bukti pendukung terhadap asal-usul nama Desa Bedagung, yang dipercaya berasal dari ungkapan “Bedhahing Kutha Papat Padha Agunge”. Selain itu, di wilayah Dukuh Sijaha juga terdapat hamparan sawah yang dikenal dengan sebutan Sawah Desa. Nama tersebut dimaknai sebagai sawah bekas perkampungan atau desa, dan diyakini sebagai titik awal berdirinya permukiman pertama di Desa Bedagung. Tempat tersebut merupakan tempat tinggal salah satu tokoh berpengaruh yang menjadi panutan bagi keempat kyai yang telah diceritakan sebelumnya, yaitu Raden Mbah Dai Jaimin. Namun demikian, hingga kini tidak ditemukan petilasan atau peninggalan fisik yang menunjukkan keberadaan beliau di lokasi tersebut.

Komentar baru terbit setelah disetujui Admin